Jumat, 14 Juni 2013

Aplikasi Klinis Transfer Factor

Sistem imun merupakan hal yang rumit namun sekaligus menakjubkan. Beruntunglah, Sang Pencipta memberikan suatu pertolongan kepada bayi. Kita sadar betapa pentingnya pemberian ASI (Air Susu Ibu) bagi kemampuan sistem imun. Di dalam kondisi dunia yang semakin bahaya, kita cenderung diserang oleh berbagai agen penyebab penyakit (patogen). Sistem imun kita pun dapat mengalami perubahan yang tidak menentu. Transfer Factor (TF) yang merupakan faktor imun utama pada kolostrum, dapat menjadi senjata utama bagi tubuh kita untuk menangkal pathogen. Transfer Factor barfungsi dalam melatih dan mendidik secara terus menerus sistem imun.

Pada tahun 1949, H.S. Lawrence menemukan Transfer Factor, ketika ia berhadapan dengan masalah penyakit tuberculosis (TBC). Apa yang ia coba temukan adalah keberadaan komponen darah yang dapat membawa sensitivitas tubercular dari seseorang yang telah sembuh dari TBC ke orang yang belum terkena TBC. Transfusi darah secara keseluruhan dapat dilakukan, tapi hanya pada orang yang memiliki golongan darah sama. Pada awalnya, Lawrence memisahkan antara sel-sel imun darah dan sel limfosit atau sel darah putih, dari seluruh komponen darah. Kemudian Lawrence memecah limfosit menjadi beberapa ukuran fraksi. Apa yang ia temukan merupakan molekul fraksi terkecil yang dapat mentransfer sensitivitas tuberculin pada pasien yang sehat. Molekul inilah yang ia namakan Transfer Factor.

Transfer factors adalah molekul kecil dengan berat molekul 3,5-6,0 kDalton, yang terdiri dari oligoribonucleotides yang melekat pada molekul peptida. Dulu, molekul ini hanya didapat dari proses dialisa (pemecahan) sel darah putih, tetapi sekarang dapat disarikan dari bovine colostrum. Mereka diproduksi oleh sel limfosit-T serta dapat mentransfer kemampuan untuk mengenal pathogen kepada sel yang belum pernah kontak dengan pathogen tersebut (fungsi memori). Mereka juga memperkuat kemampuan dari sistem imun untuk bereaksi (fungsi inducer/perangsang) terhadap pathogen. Transfer factor memungkinkan sel-T untuk lebih mengenal terhadap pathogen. Di sisi lain, Transfer Factor juga dapat bertindak sebagai produk gen yang membantu sel-T lain menyerang. (1)

Fungsi perangsangan/inducer transfer factor menghubungkan sel-sel imun yang berikatan dengan antigen, sehingga dapat meningkatkan reaksi stimulus terhadap antigen. Fungsi supresi yaitu menahan reaksi berlebihan sel-T(2) dan memberi tanda pada sel untuk menurunkan respon imunnya. Hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya alergi atau kondisi autoimmune.

Peranan sel TH1, TH2
Sebelum kita mengerti kegunaan/fungsi transfer factor, sangat penting apabila kita mengerti dulu tentang paradigma sel TH1 helper/TH2 helper. Sel limfosit T-helper dikembangkan menjadi 2 jenis sel. Sel TH1 baerfungsi mengatur imunitas seluler (cell-mediated immune), memproduksi cytokines: IL-2, IFN-gamma, and TNF-alpha. Sel TH2 cells barfungsi mengatur imunitas humoral, atau produksi antibody, memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Jika anda telah mengerti dan familiar dengan keadaan fenotip dominan TH1/TH2 pada seseorang, anda akan lebih mudah mengidentifikasi kondisi tubuh atau kondisi penyakit pada orang tersebut dan membuat terapi yang tepat.

Respon sel imun seluler atau sel-TH1 helper sangat penting terhadap kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap berbagai serangan virus, jamur, parasit, kanker, dan organisme intraselular. Imunitas seluler dapat dites dengan:
1. Skin tests-delayed hypersensitivity skin testing
2. Response to non-specific mitogens, such as phytohemagglutinin (PHA), concavalina, or pokeweed mitogens
3. Response to specific mitogens, such as diptheria, tetanus, or candida
4. Response to alloantigens-mixed  lymphocyte reaction
5. T-cell subsets
6. IL-2R
7.  NK cell level
8. NK cell activity
9. IL1 assay
10. IL2 and interferon gamma, and other cytokines

Jika seseorang berada pada kondisi dominant-TH2, dimana terjadi penurunan imunitas selular dan penguatan imunitas humoral, maka kondisi yang akan terjadi adalah:
1. Allergies
2. Chronic sinusitis
3. Atopic eczema
4. Asthma
5. Systemic autoimmune conditions such as lupus erythematosus and mercury-induced autoimmunity
6. Vacctination-induced state
7. Certain cases of autism
8. Hyperinsulinism
9. Pertussis vaccination
10. Malaria
11. Helminth infection
12. Hepatitis C
13. Chronic glardlasis
14. Hypercortisolism
15. Chronic candidiasis
16. Cancer
17. Viral infections
18. Ulcerative colitis

Jika seseorang berada pada kondisi dominant-TH1, kondisi yang timbul adalah:
1. Diabetes type 1
2. Multiple sclerosis
3. Rheumatoid arthritis
4. Uveitis
5. Crohn’s disease
6. Hashimoto’s disease
7. Sjogren’s syndrome
8. Psoriasis
9. Sarcoidosis
10. Chronic Lyme disease
11. H. Pylori infections
12. E. histolytica
Pada kondisi hamil, terjadi keadaan dominant-TH2. Hal tersebut sangat baik untuk kondisi kehamilan. Bila telah berada pada kondisi dominan-TH1, atau respon imunitas seluler lebih dominan, akan menginduksi terjadinya penolakan terhadap fetus dan plasenta. (3) Karena reaksinya yang menstimulasi respon TH1 dalam banyak kasus, sebaiknya Transfer Factor tidak digunakan selama kehamilan normal. Penyakit autoimun tertentu, seperti multiple sclerosis dan rheumatoid arthritis, yang terjadi pada kondisi dominant-TH1, akan membaik selama kondisi kehamilan. (4)
Kondisi dominant-TH1 pada umumnya tidak dapat ditolong oleh Transfer Factor. Tetapi, beberapa penyakit seperti multiple sclerosis, rheumatoid arhtritis, and Crohn’s disease, yang dapat timbul sebagai akibat adanya infeksi atau reaksi terhadap patogen. Jika respon TH1 tidak cukup kuat untuk mendorong sistem imun menyerang berbagi mikroba, maka Transfer Factor akan meningkatkan proses penyerangan tersebut dan sangat efektif pada kasus-kasus tertentu. Secara klinis, hal ini dapat terjadi pada kasus-kasus seperti multiple sclerosis, crohn’s disease, and chronic Lyme disease, dimana terjadinya kondisi dominant-TH1.
Transfer Factor mampu meningkatkan fungsi imunitas seluler atau mendorong terjadinya kondisi TH2 menjadi TH1. Hal ini sangat berguna bagi keadaan dominan-TH2. Secara normal, apabila pada saat terpapar bakteri dan infeksi pada masa kanak-kanak, yang berada pada kondisi dominant-TH2, maka kondisi TH1 akan ditingkatkan yang kemudian terjadi keseimbangan TH1/TH2. (5) Apabila kondisi dominant-TH2 tetap terjadi, akan menyebabkan terjadinya atopic atau keadaan alergi. Hal ini dapat terlihat dengan semakin banyaknya tingkat kejadian allergic symptoms, postnasal drip, asthma, dan sebagainya.
Di sisi lain akibat kondisi dominant-TH2 adalah penurunan TH1 atau imunitas seluler. Sehingga kita melihat semakin banyak terjadinya kasus infeksi jamur, infeksi virus, dan kanker. Vaksinasi diberikan untuk mendorong terciptanya kondisi TH2. Untuk membantu mengatasi masalah tersebut, kita bisa menggunakan Transfer Factor sebelum dan sesudah imunisasi.

Karena kanker berhubungan dengan kondisi defisiensi/penurunan kondisi TH1, Transfer Factor harus dipertimbangkan pada terapi peningkatan imun pasien kanker. Faktor-faktor yang bisa menurunkan imunitas seluler/TH1 dan terjadi peningkatan dominant-TH2 adalah umur, perawatan kanker yang sitotoksik, stress setelah pembedahan, penyakit metastatis, dan lain-lain. (6) Cell-mediated immunity (CMI) dapat menjadi predictor tingkat morbiditas dan mortalitas di atas usia 60 tahun. Pada pasien dengan liver metastases atau colon rectal carcinoma, CMI ialah faktor prediksi seseorang mampu bertahan atau tidak. (7) Penurunan imunitas seluler seiring dengan peningkatan sirkulasi imun kompleks, mengindikasikan buruknya prognosis pada pasien kanker. (8) Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan kanker kulit multiple terdapat kerusakan atau penurunan CMI. (9) Pada penelitian pasien kanker rahim, yang telah dibandingkan dengan grup control, mereka yang menjalani kemoterapi menunjukkan terjadinya penurunan pada parameter imunnya (seperti, penurunan cell-mediated immunity), sementara itu grup yang menerima immunotherapy (dalam hal ini, thymopeptin) parameter imunnya berada di batas normal. (10,11)
Penurunan imunitas pada pasien kanker, mengakibatkan mereka mudah terkena infeksi oleh berbagai jenis virus, seperti herpes zoster and cytomegalovirus (CMV). Infeksi dapat terjadi sebagai akibat dari terapi cytotoxic therapy dan defisiensi imunitas seluler / TH1. (12) Kondisi dominant-TH1, ditandai dengan adanya peningkatan jumlah IL-2 dan IFN-gamma, yang bertindak sebagai stimulator imun dan membatasi pertumbuhan tumor. Sebaliknya, kondisi dominant-TH2, ditandai dengan IL-4 and IL-10 cytokines, yang bertindak sebagai penghambat imun dan menstimulasi pertumbuhan tumor. Perkembangan HIV berubah menjadi infeksi HHV8 disertai Kaposi sarcoma, ulcerative colitis, obesitas, berkembangnya kanker kolon, dan peningkatan kejadian terjadinya karsinoma, semuanya berhubungan dengan peningkatan kondisi TH2 (dan penurunan kondisi TH1). Studi menunjukkan bahwa adanya pergeseran kondisi menjadi dominant-TH2 terjadi sebelum transformasi kanker. Ketika sel kanker tumbuh, sel menjadi semakin hypoxic. Hal ini mengakibatkan imunitas seluler lebih tertekan, dan terjadinya penurunan daya tahan. Studi menunjukkan bahwa respon imun TH2 berhubungan dengan kondisi proangiogenesis, yang memfasilitasi pertumbuhan kanker. (13)
Transfer factor menunjukkan kemampuan memperbaiki imunitas seluler pada pasien yang mengalami penurunan imunitas. (14) Karena Transfer Factor mampu meningkatkan imunitas seluler atau TH1, oleh karena itu ia sangat menolong pada kondisi seperti ini. Salah satu contoh, dengan memerintahkan cell-mediated immunity melawan pengganggu dan antigen spesifik pada jaringan prostate, Transfer Factor sangat efektif dalam perawatan Kanker prostate yang sudah metastasis pada stadium D3 hormone-unresponsive. Follow-up menunjukkan peningkatan rata-rata hidup terhadap 50 pasien, dengan penyembuhan total pada 2 pasien, kemungkinan sembuh terhadap 6 pasien, dan tidak terjadinya metastasis pada semua pasien. (14,15) Penggunaan Transfer factor menunjukkan perbaikan pertahanan sebagai suatu hal penting untuk menghentikan perkembangan sel kanker. (16)
Sebelum transfer factor dapat diekstrak dari kolostrum, ia hanya bisa diperoleh dari hasil dialisa leukosit (DLE=dialyzed leukocyte extract). Kepada literature dikatakan bahwa DLE antigen tertentu telah digunakan untuk berbagai kondisi infeksi virus, kondisi autoimun, dan kanker. Telah ditemukan bahwa DLE berfungsi memfasilitasi imun untuk menjadi antigen tumor. It has been found that DLE facilitated immunity to tumor-associated antigen. Fudenburg menjelaskan bahwa transfer factor dari donor terpilih dapat meningkatkan respon awal sel pada pasien dengan osteogenik sarcoma.
Salah satu faktor yang melemahkan sel imun pertahanan awal tubuh kita adalah lingkungan (seperti bahan kimia atau polusi logam berat). Penelitian menunjukkan bahwa pemaparan dalam waktu lama oleh polychlorinated hydrocarbons dapat menekan proses fagositosis, penurunan aktivitas NK sel, dan penurunan respon limfosit pada tikus. (17) berakibat dalam penurunan pengaturan sistem imun, dengan respon TH2 yang lebih dominant, dapat terjadi bila terpapar dengan merkuri. Oleh karena itu, respon TH1 tidak membaik, dapat meningkatkan kasus terjadinya kanker hingga penyakit autoimun. (18)
Dalam pengobatan dewasa ini, kita melihat meningkatnya permasalahan dengan infeksi virus, seperti otitis media, infeksi kronis, cacar, Epstein-Barr virus (EBV). CMV acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), hepatitis, dan West Nile virus. Kita dapat menggunakan berbagai perawatan beragam, misal dari interferon hingga azidothymidine (AZT), ribavirin, and relenza. Walaupun dengan semua senjata imun teknologi tinggi telah digunakan, kita masih sering kalah berperang dengan virus-virus tersebut.
Pada terapi infeksi virus, transfer factor menyediakan modal dasar yang bekerja pada tingkat yang paling mendasar dan utama. Transfer factor dapat menginduce interferon pada pasien dengan infeksi virus. (19)
Infeksi virus mengindikasikan peningkatan kondisi TH2 dan penurunan kondisi TH1. Hal yang sama juga terjadi pada infeksi jamur, parasit, dan penyakit kanker. Infeksi bakteri juga berhubungan dengan penurunan kondisi dominant-TH2.
Dengan merangsang TH1, transfer factor sangat menguntungkan pada perawatan pasien hepatitis. Pada hepatitis C, kondisi dominant-TH2 berperan penting dalam perkembangan hepatitis kronis. Perangsangan TH1 menghasilkan pembersihan partikel-partikel virus dan penyembuhan hepatitis. (20,21) Studi menunjukkan bahwa pasien cacar dan komplikasinya telah sukses berhasil disembuhkan dengan non-specific transfer factor. Gejala dapat dihilangkan dalam kurun waktu 24 jam tanpa efek samping. (22)
Satu teori mengatakan bahwa satu mekanisme yang terlibat pada kelainan autisme adalah ketidakseimbangan imun terhadap pole imunitas TH2, sebagai hasil dari vaksinasi (measles, mumps, and rubella). Akhir-akhir ini, dilakukan studi untuk menguji coba efektivitas transfer factor sebagai modulator imun pada kelainan autisme ini.
Telah diketahui bahwa virus sangat berperan pada etiologi Otitis media akut (AOM = acute otitis media) pada anak-anak. Pada studi tentang AOM, 75% anak-anak positif menderita virus seperti respiratory syncytial virus (RSV), para influenza, and influenza, dan 48% memiliki virus penyebab pada efusi telinga tengah. (23) Virus-virus ini bekerja sebagai pendahulu dari infeksi bakteri spesifik AOM. (24) Terjadi hasil yang sangat bagus pada perawatan awal dan pencegahan otitis media dengan menggunakan transfer factor.
Beberapa persen penderita asma memiliki gejala infeksi pernafasan, sebagai akibat dari infeksi virus. Studi penggunaan transfer factor yang terjadi pada pasien asma menunjukkan bahwa sekitar 50% pasien dapat menghentikan penggunaan steroidnya, dan setengahnya lagi dapat menurunkan dosis penggunaan steroidnya. Secara umum, terjadi penurunan biaya rumah sakit. Penggunaan transfer factor dapat memperbaiki imunitas selular. Tidak menimbulkan efek samping dan reaksi alergi. (25)
Dalam kasus-kasus alergi, Kahn melaporkan peningkatan kejadian infeksi, seperti pada influenza virus, syncytial virus, adenovirus, dan lain-lain, sebagai faktor predisposisi pada anak-anak penderita asma. Ditemukan juga bahwa anak dengan penyakit asma punya kecenderungan cepat terkena infeksi. (26) 12 dari 15 anak mengalami ketidaksempurnaan pada imunitas sel-T, walaupun beberapa diantaranya tidaklah parah. (27) Hal ini menjadi perhatian bahwa fungsi sel mediated imun yang tidak sempurna menjadi faktor pada penyakit-penyakit virus.
Telah diteliti bahwa wanita dengan infeksi human papilloma virus (HPV) memiliki ketidaksempurnaan mekanisme proteksi dari cell-mediated immunity. (28) Perubahan kondisi dominant-TH1 ke TH2 dalam pola cytokine berhubungan dengan semakin parahnya infeksi HPV. Peningkatan permasalahan gynecological ditemukan sebagai penyebab kedua pada infeksi HPV. Potensi transfer factor yang terjadi pada infeksi HPV perlu digali lebih lanjut.

Chronic Infection
Transfer Factor juga dapat memperbaiki kerusakan sistem imun yang terjadi akibat infeksi kronis. Beberapa praktisi yang melihat skenario adalah sebagai berikut: seorang anak datang dengan bronchitis atau tonsilitis yang berulang (rekuren), yang ia derita sejak bayi, sehingga perlu terapi antibiotik secara berkala/berulang kali. Hal ini menimbulkan gejala kandidiasis kronik. Riwayat eksim kronis atau alergi juga  sangat sering ditemukan. Tes imunologi atau tes kulit menunjukkan kekurangan pada cell-mediated immunity, tapi bukan kerusakan. Grohn menjelaskan bahwa pada beberapa kasus dan memperoleh hasil bahwa perawatan berhasil sukses dengan transfer factor. (29) Disini kita dapat melihat bahwa transfer factor sangat menolong untuk mengatasi kondisi dominant-TH2: alergi, kandidiasis kronis, dan eksim.
Transfer factor dapat menghilangkan kasus-kasus yang rekuren, non-bacterial cystitis (NBRC), jika perawatan dengan antibiotik dan obat-obatan non steroid tidak berhasil. (30) Berbagai studi telah menunjukkan hasil positif dengan transfer factor pada chronic mucocutaneous candidiasis. (31)
In Lyme disease, cytotoxic production of a TH2 phenotype is correlated to resistance, while that of a TH1 phenotype is correlated to susceptibility. (32) This suggests that certain people have an immune glitch that makes their immune system prone to either the TH1 or TH2 pattern and therefore more susceptible to different diseases. This may be precisely where transfer factor having immune-modulating effects, can be helpful. For instance, in Lyme patients we usually see a TH-1 dominated pattern, but transfer factor works very well for certain subsets of Lyme patiens.

Chronic Fatigue
Transfer Factor telah digunakan dalam sindrom kelelahan kronis akibat disfungsi kekebalan tubuh, khususnya jika ditemukan etiologi virus. Transfer factor dapat memberikan tingkat keberhasilan yang bervariasi sesuai dengan penggunaan dosisnya. Apabila transfer factor umum tidak berhasil, maka penggunaan transfer factor dari antigen (atau penyakit-) yang spesific mungkin perlu dieksplorasi. (33)
Pada pasien lanjut usia dengan sindrom kelelahan kronis dan imunodefisiensi selular, pemulihan dapat terjadi setelah perawatan dengan transfer factor. (34) Transfer factor telah sukses dalam sindrom kelelahan kronis sekunder akibat virus herpes manusia 6 (HHV6), herpes kelamin atau labia, dan herpes okular berulang telah terdokumentasi dengan sangat baik. (35-37) Sebuah studi tentang efek transfer factor pada multiple sclerosis menunjukkan bahwa trancfer factor dapat mengurangi perkembangan penyakit dalam kasus-kasus ringan sampai sedang. (38)

The Treatment
Terapi dengan transfer factor bergantung pada dosis yang digunakan. Pada keadaan infeksi virus, biasanya dimulai dengan 3 kapsul 3 kali perhari. Dosis kemudian diturunkan menjadi 1 kapsul 3 kali perhari. Dosis ini biasanya dipertahankan pada kasus-kasus infeksi virus kronis, infeksi herpes kronis, chronic fatigue secondary to CMV or EBV, chronic colds, dan kasus resistensi. Apabila ada infeksi virus berlebihan, dosis tersebut dapat ditingkatkan menjadi 3 kapsul 3 kali perhari. Biasanya, pasien cenderung melaporkan penurunan terhadap cold, penurunan gejala pada hidung (Seperti postnasal drip and chronic sinus symptoms). Pada kondisi alergi, dewasa dimulai dengan 2 kapsul 3 kali perhari, kemudian meningkat menjadi 3 kapsul 3 kali perhari jika gejala bertambah buruk. Pada dosis maintenance, dosis kemudian diturunkan seiring dengan penurunan gejala.
Pada kasus chronic fatigue syndrome, pasien dimulai dengan 3 kapsul 3 kali sehari. Kemudian dosis dapat ditingkatkan tergantung respon orang tersebut. Dosis 4-5 kapsul 3 kali sehari dapat diterapkan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan atau radioterapi, yang mengalami penurunan fungsi imun seluler.
Tes-tes fungsi imun dapat dilakukan, terutama tes penentuan CMI, dapat dilakukan untuk menentukan dosis. Dapat juga untuk menentukan jumlah cytokine, menentukan IL-2, IL-4, IFN-U, IL-10, dsb. Peningkatan jumlah IL-2 dan interferon gamma akan mengindikasikan kondisi predominant-TH1, sementara peningkatan jumlah IL-4 and IL-10 akan mengindikasikan kondisi dominant-TH2. Aktivitas sel NK, yang biasanya turun pada kasus-kasus kanker, akan meningkat dengan penggunaan transfer factor, dan dapat diukur secara periodik.
Pada kasus anak-anak yang sering mengalami serangan virus, asthma, allergic chronic sinus symptoms, and chronic candida symptoms, dosis awal sebagai berikut:
Dibawah 1 tahun : ½ kapsul sehari (200mg transfer factor per kapsul).
1-5 tahun       : ½ kapsul sehari
6-12 tahun      : 1 kapsul 2 kali sehari
Diatas 12 tahun : 1 kapsul 3 kali sehari
Dosis di atas adalah dosis awal; dosis dapat dinaikkan bertahap tergantung tingkat keparahan penyakit.
Biasanya, pada saat pasien mulai mengkonsumsi transfer factor, mereka dapat merasakan gejala seperti flu (flu-like symptoms), mual, atau gejala pada saluran pencernaan. Karena transfer factor merupakan peptide kecil dan tidak mengandung protein susu, reaksi alergi jarang terjadi. Gejala-gejala tersebut biasanya diklasifikasikan mekanisme Jared Herxheime, dan kemungkinan timbul sebagai akibat dari reaksi awal transfer factor pada usus atau pathogen sistemik. Apabila pasien diinformasikan tentang gejala yang mungkin dapat terjadi, maka mereka akan terus melanjutkan perawatan.
Transfer Factor dan Terapi Alternatif Lainnya
Pada kasus-kasus komplikasi imun atau pada perawatan kanker, sangat bermanfaat untuk menambah suplemen jenis herbal dan nutrisi lain untuk meningkatkan efek stimulasi imun. Faktor-faktor tambahan ini akan mempertajam kenaikan aktifitas sel NK, meningkatkan fagositosis, meningkatkan pematangan sel-T, meningkatkan imun secara keseluruhan, dan mempercepat reaksi beruntun penghancuran toxin. Bahan-bahan yang dapat memperkuat Transfer Factor termasuk di antaranya adalah hymic protein factors, herbal China (seperti astragalus, cordyceps, shiitake, maitake, dan reishi), inositol hexaphosphate, melatonin, 1-3 beta glucan, glutathione, dan antioksidan lainnya. Vitamins A, D, dan B6 menaikkan pola TH2, sementara vitamins E, C, dan folate menaikkan produksi TH1. (39) Vitamin B12 menekan respon TH1. (40) Sebagai tambahan, akupuntur ditemukan juga dapat meningkatkan jumlah perimeter imun CMI CMI. Levels of CD 3+, CD 4+, CD 4+/CD 8+, dan beta-endorphins ditemukan meningkat pada penderita tumor ganas setelah perawatan dengan akupuntur. (41)
Thymic factors menyebabkan pematangan sel-T dan meningkatkan cell-mediated immunity. Namun transfer factor jauh lebih efektif pada post-thymic cells. Bagaimanapun kegunaannya, thymic factors dan transfer factor direkomendasikan untuk terapi immunodeficiency. (42,43) Studi baru-baru ini oleh Dr. D. See menunjukkan bahwa transfer factor meningkatkan aktivitas sitotoksik sel NK. Efek transfer factor lebih besar daripada bahan-bahan lain yang terkenal dapat meningkatkan sel NK, seperti echinacea, acemannan, 1-3 beta glucan, IP-6, dan certain Chinese mushrooms. Kolostrum memiliki ¼ potensi. Parameter imun lainnya, seperti fungsi sel-T dan tes imunitas seluler, tidak dilakukan pada studi ini. (44)

Kesimpulan
Fungsi sistem imun adalah pusat/jantung dari meningkatnya infeksi dan kelainan imunologi yang ditemukan pada praktek klinik. Melalui bahan unik serta aktifitasnya, transfer factor sangat bermanfaat, relatif tidak menimbulkan risiko, dan terapi yang paling penting untuk perawatan dalam melemahnya kondisi cell-mediated atau TH1. Pikirkan dari sisi potensial kegunaannya yaitu pada penyakit-penyakit seperti cancer, chronic fatigue, viral infections, allergies, fungal infections, chronic infections, and autoimmune diseases.
IGF-1
Does any of the 4Life TF products contain IGF-1?
“Insuline-like growth factor-I (IGF-1) adalah hormon pertumbuhan dengan karakteristik mirip insulin dan growth hormone. Fungsinya untuk menstimulasi pertumbuhan sel-sel pada jaringan tubuh. IGF-1 ditemukan pada tubuh manusia dan kolostrum sapi dan manusia. Konsentrasi IGF-1 pada kolostrum beratus kali lipat lebih tinggi daripada yang terdapat pada susu.
Pada bayi yang baru lahir, satu fungsi utama IGF-1 adalah merangsang pertumbuhan gut, memperbaiki fungsi pertahanan. IGF-1 juga dapat merangsang pertumbuhan sel-sel yang tidak dibutuhkan, seperti sel kanker. IGF-1 adalah molekul besar. Pada kolostrum, IGF-1 hampir seluruhnya terikat protein, sehingga menjadikannya molekul yang sangat besar. Proses microfiltration yang telah dipatenkan oleh 4Life untuk mengekstrak Transfer Factors dari kolostrum, tidak memungkinkan molekul sebesar ini melewati membrane filtrasi.
Penelitian terakhir menunjukkann kolostrum sapi akan meningkatkan jumlah serum IGF-1 pada manusia. Faktanya, pemnelitian ini menunjukkan bahwa hampir semua IGF-1 mengalami pemecahan di perut. Sementara penyerapan hanya terjadi dalam jumlah kecil pada bayi baru lahir, hal yang tidak dapat dipastikan jika konsumsi oral IGF-1 dapat diserap pada orang dewasa. Mempertimbangkan fakta ini, kami yakin bahwa kekuatan imun yang diberikan oleh produk Transfer Factor 4Life berasal dari kemampuan transfer factor itu sendiri, bukan dari molekul-molekul penyertanya.
Selanjutnya, mereka penderita kanker tidak perlu khawatir tentang adanya pertumbuhan sel-sel kanker yang tidak diinginkan kala mengkonsumsi produk Transfer Factor 4Life. Sebaliknya, telah banyak orang yang melaporkan bahwa produk Transfer Factor 4Life sangat menolong mereka dalam mensuport sistem imun disaat mereka berperang melawan kanker.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar