Kamis, 01 Agustus 2013

Aplikasi Klinis Pada Transfer factor


Viral Infections

Dalam pengobatan dewasa ini, kita melihat meningkatnya permasalahan dengan infeksi virus, seperti otitis media, cacar, infeksi kronis, Epstein-Barr virus (EBV). CMV acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), hepatitis, dan West Nile virus. Kita menggunakan berbagai perawatan beragam, mulai dari interferon hingga azidothymidine (AZT), ribavirin, and relenza. Walaupun dengan semua senjata imun teknologi tinggi telah digunakan, kita masih sering kalah perang dengan virus-virus tersebut.

Pada terapi infeksi virus, transfer factor menyediakan modal dasar yang bekerja pada tingkat yang paling dasar dan utama. Transfer factor dapat menginduce interferon pada pasien dengan infeksi virus. (19)

Infeksi virus mengindikasikan peningkatan kondisi TH2 dan penurunan kondisi TH1. Hal yang sama juga terjadi pada infeksi jamur, parasit, dan penyakit kanker. Infeksi bakteri juga berhubungan dengan penurunan kondisi dominant-TH2.

Dengan merangsang TH1, transfer factor sangat menguntungkan pada perawatan pasien hepatitis. Pada hepatitis C, kondisi dominant-TH2 berperan penting dalam perkembangan hepatitis kronis. Perangsangan TH1 menghasilkan pembersihan partikel-partikel virus dan penyembuhan hepatitis. (20,21) Studi menunjukkan pasien cacar dan komplikasinya telah sukses berhasil disembuhkan dengan non-specific transfer factor. Gejala dapat dihilangkan dalam waktu 24 jam tanpa efek samping. (22)

Satu teori mengatakan bahwa satu mekanisme yang terlibat pada kelainan autisme adalah ketidakseimbangan imun terhadap pole imunitas TH2, sebagai hasil dari vaksinasi (measles, mumps, and rubella). Akhir-akhir ini, dilakukan studi untuk menguji coba efektivitas transfer factor sebagai modulator imun pada kelainan autisme ini.
Telah diketahui bahwa virus sangat berperan pada etiologi Otitis media akut (AOM = acute otitis media) pada anak-anak. Pada studi tentang AOM, 75% anak-anak positif menderita virus seperti respiratory syncytial virus (RSV), para influenza, and influenza, dan 48% memiliki virus penyebab pada efusi telinga tengah. (23) Virus-virus ini bekerja sebagai pendahulu dari infeksi bakteri spesifik AOM. (24) Terjadi hasil yang sangat bagus pada perawatan awal dan pencegahan otitis media dengan menggunakan transfer factor.

Beberapa persen penderita asma memiliki gejala infeksi pernafasan, kebanyakan akibat dari infeksi virus. Studi penggunaan transfer factor pada pasien asma menunjukkan bahwa sekitar 50% pasien dapat menghentikan penggunaan steroidnya, dan separuhnya lagi dapat menurunkan dosis penggunaan steroidnya. Secara umum, terjadi penurunan biaya rumah sakit. Penggunaan transfer factor memperbaiki imunitas selular. Tidak terjadi efek samping dan reaksi alergi. (25)

Dalam kasus-kasus alergi, Kahn melaporkan peningkatan kejadian infeksi, seperti para influenza virus, syncytial virus, adenovirus, etc., sebagai faktor predisposisi pada anak-anak penderita asma. Ditemukan juga bahwa anak dengan asma punya kecenderungan cepat terkena infeksi. (26) 12 dari 15 anak mengalami ketidaksempurnaan pada imunitas sel-T, walau beberapa diantaranya tidaklah parah. (27) Hal ini menjadi perhatian bahwa fungsi sel mediated imun yang tidak sempurna menjadi faktor pada penyakit-penyakit virus.

Telah diteliti bahwa wanita dengan infeksi human papilloma virus (HPV) memiliki ketidaksempurnaan mekanisme proteksi dari cell-mediated immunity. (28) Keadaan perubahan kondisi dominant-TH1 ke TH2 dalam pola cytokine berhubungan dengan semakin parahnya infeksi HPV. Peningkatan masalah gynecological ditemukan sebagai penyebab kedua pada infeksi HPV. Potensi transfer factor pada infeksi HPV perlu digali lebih lanjut.


Chronic Infection

Transfer Factor juga dapat memperbaiki kerusakan sistem imun yang terjadi akibat infeksi kronis. Berapa banyak praktisi yang melihat skenario sbb: seorang anak datang dengan bronchitis atau tonsilitis yang berulang (rekuren), yang ia derita sejak bayi, sehingga perlu terapi antibiotik secara berkala/berulang kali. Hal ini akan menimbulkan gejala kandidiasis kronik. Riwayat eksim kronis atau alergi juga sering ditemukan. Tes imunologi atau tes kulit menunjukkan kekurangan pada cell-mediated immunity, tapi bukan kerusakan. Grohn melaporkan bahwa pada beberapa kasus dan memperoleh hasil bahwa perawatan berhasil sukses dengan transfer factor. (29) Di sini kita dapat melihat bahwa transfer factor sangat menolong untuk mengatasi kondisi dominant-TH2: alergi, kandidiasis kronis, dan eksim.

Transfer factor dapat menghilangkan kasus-kasus yang rekuren, non-bacterial cystitis (NBRC), kala perawatan dengan antibiotik dan obat-obatan non steroid tidak berhasil. (30) Berbagai studi menunjukkan hasil positif dengan transfer factor pada chronic mucocutaneous candidiasis. (31)

In Lyme disease, cytotoxic production of a TH2 phenotype is correlated to resistance, while that of a TH1 phenotype is correlated to susceptibility. (32) This suggests that certain people have an immune glitch that makes their immune system prone to either the TH1 or TH2 pattern and therefore more susceptible to different diseases. This may be precisely where transfer factor having immune-modulating effects, can be helpful. For instance, in Lyme patients we usually see a TH-1 dominated pattern, but transfer factor works very well for certain subsets of Lyme patiens.


Chronic Fatigue

Transfer factor has been used in chronic fatigue immune dysfunction syndrome, especially if a viral etiology can be found. It has had varied success, although one may need to use increased dosages. If polyvalent transfer factor is not successful, the use of antigen- (or disease-) specific transfer factor may need to be explored. (33)

In elderly patients with cellular immunodeficiency and chronic fatigue syndrome, age-related decrease in recovery occurred after treatment with transfer factor. (34) Success with transfer factor in chronic fatigue syndrome secondary to human herpes virus 6 (HHV6), genital or labial herpes, and recurrent ocular herpes has been well-documented. (35-37) A study on the effect of transfer factor on the course of multiple sclerosis showed that it retarded the progression of the disease in mild to moderate cases. (38)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar